Jumat, 08 Mei 2015

Gembok



Cerpen Desi Puspitasari





“FRAU Wiechert?”

“Ja.”

Wiechert terjaga karena suara berisik. Suara langkah kaki tergesa menaiki tangga. Pintu dibuka, pertanyaan-pertanyaan, tetangga sebelah banyak bicara dengan setengah menangis. Perkataannya tidak jelas sehingga polisi mengulang jawaban untuk memastikan kebenaran. Wiechert menggeram, bangkit dari tidur, tersaruk meraih sisa kopi semalam. Ia memperhatikan pekerjaan yang belum rampung. Mesin ketik dengan sehelai kertas berisi separuh tulisan teronggok diam. Semalam otaknya mampat dan punggungnya yang terlalu letih butuh istirahat.

Pintunya diketuk. Hanya mengenakan pakaian dalam putih dan jubah melorot di bagian bahu, Wiechert membuka pintu. Tak jauh dari pemilik gedung yang berdiri gugup menyapa, beberapa polisi keluar-masuk tempat tinggal tetangga sebelah. Mereka akhirnya berpesan; bila menemukan perkembangan informasi atau bahkan pelaku, Otto Baumer akan segera diberi tahu.

“Segera betulkan pintumu. Kau diperkenankan mengganti kunci baru dan menambah gembok.”

Otto Baumer, tetangga sebelah, mengucapkan terima kasih. Saat kembali masuk, ia berkeluh kesah dengan keras; bagaimana ia bisa berangkat kerja sedang rumahnya baru saja dibobol maling.

“Pencurian,” kata pemilik gedung mubazir. Sudah jelas kejadiannya begitu masih dikatakan lagi.

”Ja.”

“Pada pukul lima pagi. Nekat sekali.”

“Ja.” Wiechert baru saja merebahkan tubuh saat itu. Tak mendengar apa-apa.

“Herr Klaus-Otto Baumer pergi belanja di toko kelontong 24 jam. Membeli teh dan roti. Saat pulang, pintu sudah terbuka, dicongkel, engselnya rusak, keadaan bagian dalam rumah berantakan. Laci meja tersorok keluar. Lemari terbuka. Pakaian berhamburan. Televisi, simpanan uang, segala barang berharga hilang.”

Wiechert mendengarkan tanpa minat. Tidak ada barang berharga di dalam ruangannya kecuali mesin ketik dan setumpuk naskah setengah jadi—bila maling kelas teri mengerti literasi.

“Polisi curiga pelakunya orang dalam. Bagaimana ia bisa hafal kebiasaan Herr Baumer menyimpan kunci? Bagaimana bisa ia tahu sepagi itu Herr Baumer pergi keluar?”

“Aku tidak tahu.”

“Herr Baumer juga tak tahu. Polisi tidak tahu. Aku juga tidak. Peristiwa ini membuat keadaan menjadi rawan.”

“Ja.”

“Puluhan tahun menyewakan apartemen, ini yang pertama.”

“Ach so.”

“Sebaiknya tidak menyimpan kunci di bawah keset di depan pintu.”

Wiechert melongok ke bawah. Tidak ada keset. Menyadari kesalahannya, pemilik gedung buru-buru mengganti. “Hanya pengandaian. Atau di bagian bawah pot tanaman.”

Wiechert menoleh. Pot tanaman mungil yang diletakkan di sisi kiri pintu Otto Baumer terguling.

“Sebaiknya kau memasang gembok tambahan.”

“Ja.“

Pemilik gedung pamit hendak memberi tahu penghuni lain.

Wiechert mengamati bagian dalam pintu rumahnya. Tanpa lubang intip. Sudah terdapat gerendel. Selalu dikait saat hendak tidur. Gembok? Gembok tambahan adalah ide bagus meski hanya sedikit barang berharga. Wiechert hanya tidak ingin saat ia pergi bagian dalam rumahnya diobrak-abrik maling. Dengan jubah yang sudah dibetulkan letak bahunya, tali di pinggang yang diikat begitu saja, Wiechert pergi ke toko kelontong 24 jam.

“Jangan menyimpan kunci di—” Perempuan itu menirukan gaya bicara pemilik gedung sambil turun tangga. “Aku selalu menyimpan kunci dalam saku.”

Di toko kelontong Wiechert membeli sebungkus roti dan susu kardus dan sebungkus rokok. Ia berdiri di luar, mengunyah sarapan dan minum susu sendirian. Butuh beberapa menit menunggu sarapannya bereaksi dan beberapa kepul rokok untuk menghangatkan tubuh. Dari bayangan kaca perempuan itu memperhatikan rambutnya yang hitam pendek berantakan, matanya berkantung, dan meski sudah ditutupi jubah, bahu kurusnya masih mencuat seperti rangka payung.

Wiechert kembali masuk. “Aku mencari gembok.”

Pelayan memberi tahu supaya ia naik ke lantai dua. Bagian perkakas rumah tangga.

“Aku mencari gembok,” kata Wiechert lagi di lantai dua.

Seorang laki-laki muda, ditindik di antara bibir bagian bawah dan dagu, rambut dicat merah, memberi tanda supaya Wiechert mengikutinya. Ia menunjuk deret bermacam-macam gembok di etalase.

“Aku mencari perlindungan ganda.” Mata Wiechert menelusuri satu demi satu gembok yang ada.

Pemuda itu menunjuk salah satu gembok.

“Bukan yang berwarna kuning. Kurang keamanannya.”

Pelayan itu mengeluarkan sebuah gembok berwarna perak. “H.S.G.. Extra plus.”

Wiechert menimang-nimang. “Apa kepanjangan H.S.G.?“

“Kuncinya tidak bisa dilepas bila tidak dalam posisi menutup.” Itu bukan jawaban atas H.S.G. Pelayan itu hanya menyebutkan kelebihan barang yang dijualnya. Kemudian ia mendemonstrasikan cara membuka dan menutup; memasukkan kunci, memutar, posisi gembok terbuka, kunci ditarik namun tidak bisa, baru ketika posisi gembok kembali ditutup kunci berhasil dicabut.

“Seperti hati dan cinta. Bila ada cinta, hati siap membuka untuk menyambutnya. Bila tidak, hati akan tertutup.” Wiechert tidak tahu mengapa tiba-tiba ia mengucapkan satu kalimat dari naskah yang sedang ditulisnya.

“Ja, ja.” Pelayan itu tiba-tiba menyahut tertarik. “Anda penulis?”

Wiechert menggeleng. “Hanya mengoceh.”

“Tapi kalimat Anda bagus.”

“Berapa harganya?”

“Hanya ada satu kunci untuk satu gembok.” Pelayan itu masih bertahan. “Apa artinya?”

Wiechert memeriksa sisa rokok. Sudah hampir habis. Ia menjatuhkan puntung dan menginjaknya gepeng. “Bila bukan kunci yang tepat, gembok tidak akan mau dibuka. Bila bukan cinta yang tepat, hati tak akan hendak terbuka.”

Mendengar penjelasan Wiechert, mata pelayan itu berbinar-binar. Wiechert memeriksa tindikan dan warna rambut dan tato yang terlihat sedikit ujungnya dari balik kemeja kerja. “Kau suka membaca cerita cinta.”

“Jörg.” Pelayan itu memperkenalkan diri lalu merendahkan volume suara. “Aku membaca roman popular. Tema cinta-cintaan selalu menarik perhatianku. Penulis favoritku: Helga Brunner, Hilde Anselm, Wiechert Völler—atau Völler Wiechert, aku lupa tepatnya. Seandainya aku bisa bertemu dengan salah satu dari mereka.” Jörg berhenti sebentar. “Tidak ada yang bisa aku ajak bicara mengenai roman cinta-cintaan di sini.”

“Aku kira teman perempuanmu banyak.”

“Tidak dengan penampilan seperti ini.”

“Kau punya dudukan gembok? Apa istilahnya—tempat untuk mengaitkan gembok saat pintu sudah ditutup?”

Jörg bergeser ke samping. Memilih yang sewarna dan menyerahkan pada Wiechert.

“Berapa harganya?”

“Aku senang bertemu Anda. Menemukan teman mengobrol yang tepat seperti gembok dengan kunci yang tepat.”

Wiechert merogoh saku jubah. Saku kanan. Saku kiri. Mencari uang.

Jörg kembali merendahkan suara. “Anda tidak perlu membayar. Anggap ini hadiah dariku.”

“Tidak bisa begitu.”

“Tunggu di sini.” Jörg membawa pergi gembok, kunci, beserta dudukannya. Ia menjelaskan sedikit pada temannya yang bertugas di belakang meja kasir. Wiechert mendengarnya seperti; perempuan itu kakinya terkilir atau apalah, ia tidak boleh banyak bergerak, aku hanya sedang membantu membayar belanjaan.

Pelayan laki-laki itu kembali dengan menyerahkan belanjaan Wiechert.

“Kau berlebihan.”

“Aku tidak apa-apa. Sungguh.” Lalu, lanjutnya, “Aku bekerja sif pagi sampai sore. Bila Anda kemari lagi untuk berbelanja, mampir ke lantai dua.”

Wiechert mengucapkan terima kasih. Sampai di rumah ia segera memasang dudukan dan mencoba menutup dan membuka untuk memeriksa apakah sudah terpasang baik. Pintu Otto Baumer sudah dipasangi gembok ukuran sangat besar. Laki-laki tua gemuk itu sekarang sedang jongkok membetulkan engsel yang rusak.

“Mencegah jauh lebih baik ketimbang kemalingan.”

“Ja, Herr.” Suara Wiechert mengandung nada simpati.

“Aku membeli gembok dengan perlindungan ganda dengan gembok yang lebih tebal dan mantap.” Otto Baumer kembali pada pekerjaannya. “Sebaiknya kau membeli yang model begitu.”

Wiechert hendak masuk ketika Otto Baumer menyusulkan kalimat berikutnya dengan buru-buru. “Ini pengalaman kurang menyenangkan untukmu yang baru pindah ke sini. Tapi, seperti kata pemilik gedung; setelah puluhan tahun ini yang pertama.”




“Semoga harimu menyenangkan.”

Wiechert merebus air. Sembari menunggu ia kembali menyulut rokok. Mengingat Jörg. Tidak menyangka pemuda itu akan bersungguh-sungguh mau membayari belanjaan. Lumayan. Uang yang tidak jadi keluar bisa ia belikan setok kopi atau rokok untuk hari berikutnya.

Peluit ceret berbunyi nyaring. Wiechert menyeduh kopi dan membawanya ke ruang kerja.

Teringat Jörg, warna biru seragam, tindikan, rambut dicat merah, obrolan cinta teranalogi kunci dan gembok membuat Wiechert menemukan ide baru. Wiechert akan menjadikan karakter unik Jörg sebagai tokoh utama yang jatuh cinta pada seorang pelanggan bulimia. Ini akan jadi cerita roman yang tidak biasa. Semoga kali ini ia mampu menyelesaikan tulisan. Kalau macet, ia akan kembali ke toko kelontong untuk mengobrol mengorek ide.Wiechert menyedot rokok sekali lagi. Suara mesin ketiknya mulai berdentam-dentam. (*)




Desi Puspitasari, adalah novelis dan cerpenis. Novelnya The Strawberry Surprise diadaptasi ke layar lebar pada 2014. Lahir di Madiun 7 November 1983. Ia bermukim di Yogyakarta. Novelnya yang akan terbit berjudul Kris & Silvana.




sumber :


https://lakonhidup.wordpress.com/2015/02/01/gembok/#more-5153




Selasa, 05 Mei 2015

Hati-Hati Menerima Telepon dari Nomor Tak Dikenal



Cerpen: Gunawan Maryanto




Pastikan Anda Benar-Benar Tak Mengenalnya
Aku sama sekali tak menduganya. Bukannya aku sudah lupa dengan suaranya. Tapi aku memang benar-benar tak menduga bahwa yang meneleponku di siang hari itu adalah dia. Lagi pula aku sudah lama menghapus nomornya dari ponselku. Aku bahkan tidak tahu apakah itu nomor dia yang dulu atau nomor baru. Aku selalu lupa pada angka. Atau memang angka demikian mudah dilupakan.

"Hallo… Ini siapa, ya?" Jadi aku memang benar-benar bertanya. Bukan sedang berpura-pura untuk menggodanya.

"Alah, masa lupa, sih?" Aku jadi tak enak. Kau pun akan merasa demikian kan? Jika bertemu dengan seseorang yang seperti mengenalmu tapi kau sama sekali tak bisa mengingat, kapan dan di mana kalian pernah bertemu sebelumnya.

Aku berusaha keras mengingat. Sebenarnya bukan berkeras mengingat, tapi berusaha keras untuk meyakinkan diri. Suaranya, aku tak pangling lagi: Alina. Tapi benarkah dia? Aku tak segera bisa meyakinkan diriku. Ada urusan apa? Sedang aku sudah lama tak berurusan dengannya.

"Alin, ya?" Tebakku tak yakin. Sama sekali tak yakin.

"Ooo… Masih ingat, ta? Kirain udah lupa." Lalu ia tertawa. Ngakak. Tawa yang seharusnya segera bisa meyakinkanku bahwa yang sedang bicara di seberang sana itu adalah dia. Tapi bagaimana aku bisa meyakinkan diriku saat itu? Sudah lama ia tak ada lagi bagiku. Dan aku benar-benar sudah berhasil melupakannya. Kau mungkin tak akan mempercayai keberhasilanku yang satu ini: melupakan seseorang dengan sempurna. Tidak mudah, memang. Tapi nyatanya aku bisa. Aku bisa melupakan seluruh pertemuanku dengannya. Seluruh cintaku kepadanya. Seluruh wajahnya. Juga bau tubuhnya. Aku seperti bisa memotong satu kurun waktu dari hidupku yang bersinggungan dengannya. Dan membuangnya jauh-jauh dari hidup yang terus kujalani.

Tapi teleponnya siang hari bolong itu seperti mengejek keberhasilanku itu. Panas setahun hilang oleh hujan sehari kata orang lama. Tapi karena nila setitik rusak susu sebelanga lebih tepat bagiku. Karena teleponnya rusaklah keberhasilanku melupakannya. Sial! Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Jika kau gagal bukankah kau selalu mencari kambing hitam? Sialnya, tak ada kambing hitam yang tepat untuk kejadian yang kualami ini selain diriku sendiri. Aku mulai mencurigai diriku. Jangan-jangan aku tak pernah sekali pun melupakannya. Bahwa selama ini ia tetap ada tapi aku berpura-pura tak menyadarinya. Aku hanya sekadar menumpuki ingatanku tentangnya dengan beragam ingatan yang lain. Jadi, aslinya ia tetap ada. Tak kurang tak lebih. Ia tetap bersemayam dengan kuat dalam kepalaku. Diam. Seperti menunggu saat yang tepat buat membalas dendam. Dan saatnya telah tiba.

"Tentu saja aku masih ingat. Nggak mungkinlah aku bisa lupa sama kamu." Tentu saja tak kukatakan bahwa aku telah gagal melupakannya. "Apa kabar?"

"Baik. Kamu?"

"Baik. Mmm… Lagi di mana, Lin?" Semoga ia tak berada di tempat yang dekat. Jawablah dengan nama kota yang terjauh dari jangkauanku. Syukur-syukur nama sebuah kota asing. Mendadak aku mulai merasa ketakutan. Aku mulai terancam dengan kehadirannya kembali. Pelan-pelan aku mulai berjaga-jaga. Menjaga apa? Aku tak tahu. Menjaga diriku. Mungkin saja.

"Kampung. Aku balik kampung. Dah 5 tahun." Aku sedikit lega. Meski kampung yang dimaksudkannya itu cuma enam jam perjalanan darat saja dari tempatku. Setidaknya ia tak berada di kota yang sama denganku.

"Dapat kerja di situ?"

"Yup." Kelegaanku sedikit bertambah. Aku sedikit merasa nyaman bercakap dengannya.

"Gak sedang sibuk kan?" Sebenarnya aku ingin langsung menjawab, "Sibuk." Dan selesailah. Aku bisa kembali menyibukkan diriku untuk kembali melupakannya. Sialan! Tiba-tiba saja aku marah pada diriku sendiri. Marah dalam arti yang sebenar-benarnya. Jadi selama ini seluruh kerja yang kulakukan ini hanyalah sebuah usaha untuk melupakannya? Jadi selama ini diam-diam dialah yang menggerakkanku? Aku wayang dan dia dalang?!

"Gak kok. Kebetulan lagi istirahat. Ada apa nih?" Benar kan aku cuma wayang? Aku hanya mengucapkan kata-kata yang ingin didengarnya. Kata-kata barusan bukan kata-kataku sendiri. Adalah kata-katanya. Aku cuma mengucapkannya.

"Ada apa nih, Lin? Kok njanur gunung."
"Janur gunung? Apa tuh?"
"Tumben."
"Janur gunung kok bisa jadi tumben?"

"Njanur gunung sama dengan menyerupai aren. Menyerupai aren bahasa Jawanya kadingaren. Kadingaren bahasa Indonesianya adalah tumben."

"Kamu kok nggak capek-capek sih jadi orang Jawa."

"Ya capek sih kalau dipikir-pikir. Tapi jika sejak kecil kau berada di dalamnya, dipaksa terus-menerus berada di sana, apa kau akan sempat memikirkannya lagi?"

"Kamu gak capek. Yang denger yang capek, tauk!"

Seperti dam yang pintu airnya jebol. Serupa bendungan yang tanggulnya ambrol. Percakapan kami mengalir tak habis-habis. Ia dalang yang tak pernah kehabisan cerita. Aku wayang dari kulit kerbau terbaik --ulet dan tahan lama; siap memainkan kisah apa saja. Juga kisah antara aku dan dia. Sebuah kisah cinta. Atau hanya kangen-kangenan biasa.

"Aku sudah nikah, Lin. Anakku satu. Tapi kami sudah pisah."
"Wah, duren dong."
"Duren?"

"Duda keren. Ha ha…" Ia tertawa ngakak lagi. Mengingatkanku pada banyak hal tentang dirinya. Mungkin benar kata orang, segala sesuatu mengingatkan kita pada sesuatu yang lain. Tawanya mengingatkan pada senja oranye di sebuah pantai di mana jemariku menggelitiki pinggangnya. Mengingatkanku pada hari di mana ia meniup lilin ulang tahunnya yang dua puluh dua. Juga mengingatkanku, aneh, pada tangisnya yang berwarna kelabu. Warna favoritku. Warna sejumlah t-shirt-ku. Warna perpisahan kami.
"Tahu tidak? Berbulan-bulan aku mencari nomormu." O, ya? Untuk apa? Tidakkah seluruh hal tentang kita telah kita tinggalkan karena tak satu pun dari kita kuasa menanggungnya? "Dan baru hari ini aku menemukannya."

Aku memang selalu berganti nomor. Dan baru kali itu aku benar-benar menyadari alasannya: menghindar darinya. Dan seperti bocah yang tempat persembunyiannya ketahuan, aku tersenyum kecut, merasa kalah dan gagal.

"Mmm… Dari mana kau dapat nomorku?"
"Darimu."

"O, ya? Kapan?" Tiba-tiba aku cemas. Jangan-jangan tanpa kusadari ada bagian dari diriku yang meneleponnya terlebih dulu, atau meninggalkan nomor terbaruku di e-mailnya. "O, ya, ya. Aku lupa." Aku harus mengakui perbuatan yang tak pernah kulakukan. Atau tak sepenuhnya kusadari. Kecurigaanku kepada diriku sendiri makin berlipat. Jangan-jangan diriku memang terbelah menjadi dua. Satu bagian masih berusaha mempertahankan kehadiran Alina. Yang lain berusaha keras melupakannya. Dan selama ini mereka bertarung di luar kehendak dan kesadaranku. Mereka sama-sama mengkhianatiku. Sama-sama meninggalkanku. Sendirian. Dan kedinginan.

"Aku hanya ingin tahu sebahagia apa kamu sekarang." Ah, jika bahagia itu ada, aku akan menjawab dengan pasti bahwa aku bahagia. Tapi sebagai jalan ia adalah jalan yang licin, sebagai sebuah tempat ia tak beralamat.

"Aku bahagia sekaligus tidak bahagia. Bagaimana, ya, ngomonginnya? Ya, gitu-gitu deh. Kau sudah tahu bagaimana aku." Jawabku aman-aman saja. Tak menjawab sesungguhnya. "Bagaimana dengan kamu sendiri?"

"Nggak tahu ya. Tapi aku senang dengan seluruh hal yang kulakukan sekarang." Syukurlah. Bagaimanapun aku turut senang mendengarnya.

"Juga sekarang kau senang?"
"Ya. Aku senang sekali bisa meneleponmu. Kupikir kau sudah melupakanku."
"Mmm… Kau sudah nikah, Lin?"

"Belum." Entah kenapa aku merasa lega. Tapi segera ada bagian dari diriku yang kembali mengikatnya. Erat dan menyesakkan. Kelegaan itu segera menghilang.

"Tapi beberapa hari yang lalu kami sudah memutuskan untuk menikah."

"O, ya. Selamat deh." Aku meresponnya dengan biasa saja. "Semoga kau makin bahagia karenanya."

"Thanks. Eh, minta e-mailmu dong."
"Ya, ntar ku-sms. Ini nomormu kan? Aku minta e-mailmu juga ya?"
"Yup."
"Eh, dah dulu, ya? Aku ada janjian ketemu orang. Kapan-kapan kita sambung lagi." Sebenarnya aku tak ada janji dengan siapa-siapa hari itu. Aku hanya berjanji kepada diriku sendiri untuk segera mengakhiri percakapan itu. Secepat-cepatnya. Makin cepat makin baik.

"Oke. Sampai ketemu lagi. Sorry sudah ngganggu waktumu. Mmmmuuaaahhh!"

Aku segera mematikan ponselku sebelum ciuman akhir itu benar-benar mendarat di pipiku. Dan baru kemudian aku merasa lega. Tak sepenuhnya memang. Tapi seperti ada beban yang kuturunkan dari bahuku. Aku menengok jam dinding, 5 menit. Hanya 5 menit kami bercakap. Dan itu sudah cukup. Terlalu cukup untuk situasiku belakangan ini.

Berbareng dengan semua itu, diam-diam jemari tangan kananku mengirim pesan ke sebuah nomor:

Tahu tidak? Aku senang sekali menerima telponmu. Aku bahagia.

***


Minggu, 03 Mei 2015

Gadis Bunga



Cerpen: Sunlie Thomas Alexander




AKU bayangkan kau sekuntum bunga. Hanya bunga yang selalu dihinggapi oleh kupu-kupu, sebagai takdirnya. Jangan protes lagi. Aku yakin kau memang secantik bunga. Mungkin Mawar, Melati, Anggrek, atau Calla. Ah, aku lebih suka bunga yang terakhir. Bukan hanya karena di mataku bunga itu tampak lebih cantik dari bunga lain, tetapi Calla selalu saja mengingatkanku pada sebuah film Korea. Dan film itu mengingatkanku pula pada seseorang, lantaran perjumpaan kami yang begitu mirip dengan sebuah adegan dalam film tersebut.

Namun kau lebih suka bunga Sedap Malam. Bunga itu menghiasi kamarmu dalam sebentuk lukisan cat minyak, katamu. Eh, kau bisa melukis kan? Aku pingin punya lukisan Sedap Malam satu lagi? Bikinkan untukku ya? Pintamu sambil tertawa.

Kau pernah marah dan menegurku lewat SMS-SMS yang meradang agar aku berhenti berimajinasi tentang dirimu. Sebab, menurutmu, imajinasi suka menyesatkan dan kau takut aku akan kecewa setelah menemukan kenyataan tidak seperti yang aku bayangkan.

"Aku tidak secantik imajinasimu!" Gerutumu kesal. Tetapi, aku tak bisa berhenti berimajinasi tentangmu. Aku telah terobsesi pada tatto kupu-kupu, yang katamu, ada di lehermu itu. Maka kubayangkan kau bagai sekuntum Calla, tentu dengan leher yang jenjang seperti tangkai Calla yang panjang. Dan, kupu-kupu itu tampak mengepak-kepakkan sayapnya yang indah di lehermu, sebelum akhirnya hinggap di ujung hidungmu yang bangir. Sungguh menggemaskan.

Film Korea itu kutonton malam hari, sendirian di kamar kontrakan, dan aku berjumpa dengan seseorang itu keesokan paginya dalam perjalanan bis ke kantor. Persis cerita dalam film Korea tersebut. Tentu, aku takjub. Bagaimana mungkin ada kejadian yang begitu mirip? Adakah memang kebetulan semacam ini di dunia? Atau aku yang terlampau melebih-lebihkannya?

Yang pasti, seperti adegan dalam film, kami bertabrakan di dalam bis yang sarat penumpang, dan aku bergegas minta maaf. Ia tersipu dan aku terperangah. Untuk beberapa saat kami saling bertatapan lalu sama membuang muka. Aku pura-pura melemparkan pandang ke luar jendela bis yang kusam dengan jengah tapi diam-diam melirik. Aku tahu, ia sama gelisahnya dari sepasang matanya yang bening?

Bis kota yang kami tumpangi terus merayap, bagai merangkak di tengah lalu lintas pagi hari yang padat. Berkali-kali mata kami kembali bertemu untuk kembali terburunya menghindar. Kutangkap rona memerah di wajahnya, dan rasa gelisah --oh, gelisah yang nikmat itu-- di dadaku semakin kentara. Aku ingin sekali menyapanya, mungkin sekadar menanyakan nama, kerja di mana, atau bisa minta nomor teleponmu? Atau lebih jauh lagi. Tapi tiada sepatah kata pun yang sanggup terucap dari mulutku. Semua kata, semua kalimat seolah bersepakat membuat kubangan di dalam kepalaku.

Dan untuk saat-saat seperti ini, kau tahu, waktu selalu saja terlalu bergegas! Ia turun dua blok sebelum kantorku. Begitu tergesa dan tanpa berpaling.


***





SEBAGAIMANA sudah bisa kauduga, sejak itu, tokoh utama dalam film Korea yang kutonton tersebut terus terbayang pada perjumpaannya yang terlampau ringkas dengan gadis dalam bis kota. Wajah gadis itu dengan lirikan ekor mata yang sedikit nakal namun gugup serta rona memerah di pipi yang begitu manis, mulai menempati sebuah bilik yang cukup luas dalam batok kepalanya, menciptakan siang dan malam yang mulai berbeda untuknya. Tak di kantor, di rumah kontrakan, di jalan, atau di mana saja ia berada. Terkadang sedikit mengganggu kesibukannya.

Tentu, setiap pagi ia selalu naik bis yang sama ke kantor --meski mobilnya telah keluar dari bengkel-- tapi tak pernah lagi ia bersua dengan gadis itu. Ai, gadis itu seperti lenyap tak berjejak. Walau setiap jam istirahat siang, setiapkali pulang lebih cepat dari jam kantor, ia senantiasa menyempatkan diri menelusuri setiap blok perkantoran dan pertokoan di sekitar kantornya, menyusuri setiap ruas jalan hingga ke beberapa gang kecil. Berharap akan menemukan gadis itu di suatu tempat.

Hingga suatu pagi, ia menemukan setangkai bunga Calla tergeletak di atas meja kantornya. Hanya setangkai Calla, tanpa disertai kartu ucapan atau pesan apa pun.

"Dari gadis itu?" Usikmu di ponsel. Ah, bersabarlah, dengarkan dulu ceritaku sampai selesai. Tokoh utama film Korea itu pun menduga hal yang sama denganmu, mungkin tepatnya berharap seperti itu. Ia sempat bertanya sana-sini, ke hampir semua pegawai kantor. Tetapi tak seorang pun yang tahu perihal bunga tersebut. Sampai kemudian ia mendengar dari seorang satpam, kalau pagi-pagi sekali seorang bocah laki-laki mengantarkan bunga tersebut saat satpam itu sedang membuka pintu kantor.

Selanjutnya setiap pagi, ia selalu menerima setangkai Calla yang serupa. Selalu bocah lelaki itu yang mengantar, kata satpam. Tetap tanpa pesan, selain bunga itu untuknya. Karena penasaran, satu pagi ia memutuskan datang lebih awal. Dan, benar kata satpam, ia bertemu dengan bocah lelaki pengantar bunga itu?

Kau menahan nafas di seberang. Membuatnya iseng menahan cerita untuk beberapa jenak, ingin menikmati rasa penasaran dan keteganganmu.

"Saya diupah oleh pegawai toko bunga tak jauh dari sini mengantarkannya untuk Tuan," jawab bocah lelaki itu. Selebihnya bocah itu hanya menggeleng. Ia mendesah kecewa, namun diputuskannya untuk mencari toko bunga itu.

Tiba-tiba kau tertawa keras di ponsel. Begitu keras hingga aku buru-buru menjauhkan ponsel dari telinga.

"Ada apa?" tanyaku polos meski agaknya sudah dapat menebak apa yang membuatmu tertawa. Dan benar saja dugaanku, kau tertawa membayangkan diriku berkhayal jadi tokoh utama film Korea itu. Ah, kalau saja kau tahu, bagaimana aku selalu mengangankan seluruh adegan dalam film itu berulang padaku, tentu dalam versi happy ending.

Terkadang aku ingin menertawakan diriku habis-habisan, menertawakan segala kekonyolan yang kuperbuat meskipun kerapkali aku begitu menikmati peranku sebagai tokoh utama film Korea itu. Sayangnya, tidak seperti tokoh utama film tersebut, aku tidak berhasil menemukan seseorang itu di sebuah toko bunga kecil yang agak tersembunyi di sudut jalan. Terang saja, karena tak sekuntum pun bunga yang pernah tergeletak di atas meja kantorku!
***
AKU memanggilmu gadis bunga, sebagaimana tokoh utama film Korea tersebut menjuluki gadis idamannya yang akhirnya ditemukannya di toko bunga kecil itu. Seharusnya panggilan itu memang untuk gadis yang bertabrakan denganku di dalam bis. Tapi ia sungguh raib ditelan waktu. Tidak seperti gadis Korea penjual bunga. Teman-teman sekantorku mengejekku habis-habisan.
Maka, kepadamulah akhirnya panggilan itu kutujukan. Jangan protes, sebab hanya sekuntum bunga yang senantiasa dihinggapi oleh kupu-kupu. Ya, kupu-kupu yang katamu telah lama menghiasi lehermu. Sejak itu, aku terus menghujanimu dengan SMS-SMS yang kadang kelewat melankoli, sesekali meneleponmu.

"Kau akan kecewa," tukasmu jengkel, "Aku sama sekali tidak seperti gadis idamanmu itu. Kau bersikap tak adil padaku." Suaramu ketus. Aku hanya tertawa getir. Lalu memintamu mengirimkan selembar fotomu padaku lewat pos atau e-mail, itu kalau kau berkenan. Agar aku berhenti berimajinasi, kataku. Sungguh, aku merasa tak mampu mengekang laju imajinasiku, terlebih setiapkali membayangkan kupu-kupu itu mengepak-kepakkan sayap di lehermu. Dan, kau benar, mungkin aku memang telah berbuat tak adil padamu. Setiapkali mencoba membayangkan dirimu, kepalaku selalu saja dipenuhi oleh bayangan gadis itu. Barangkali lebih tepat kalau dikatakan aku membayangkan dirimu sebagai dia, daripada sepenuhnya berimajinasi tentang sosokmu. Maaf.

Kapan kita bisa bertemu? Mungkin di suatu tempat yang kau suka? Di sebuah kafe kecil barangkali? Atau di pantai? Di mana aku bisa sepuasnya menyaksikan kupu-kupu itu mengepak-kepakkan sayapnya di lehermu sambil menikmati secangkir teh hangat.

Aku ingin sekali mengunjungimu di Kota Kembang. Kalau saja pekerjaan kantorku tidak selalu menumpuk dan keluargaku tidak semena-mena merampas sisa waktuku. Bukankah kau telah berjanji menjadi guide bagiku? Kita bisa jalan-jalan di Braga, atau kau lebih suka nongkrong di Dago?
***
KAU akan tiba sebentar lagi dengan kereta senja, dan kumasuki stasiun dengan degup di dada yang tak berirama. Hujan melebar, tempiasnya membasahi kaki celanaku. Orang-orang berlarian dan berteduh, barangkali di dalam hati mengutuk hujan yang celaka. Padahal betapa hujan selalu menyegarkan di mataku. Di mana-mana payung bermekaran, serupa kelopak bunga beraneka warna. Semarak dan indah.

Hujan awal November. Entahlah, di awal musim, selalu saja aku merasa memperoleh semangat baru, seperti rumput-rumput kering meranggas yang dihijaukan oleh hujan. Meski kini aku sedikit menggigit cemas.

Aku sudah tak sabar lagi menunggu kereta yang membawamu tiba, seperti juga aku tak lagi sabar untuk melihat sosokmu, tak lagi sabar menyaksikan kupu-kupu yang mengepak-kepakkan sayap di lehermu dan tak lagi sabar mengakhiri cerita film Korea itu untukmu. Sengaja memang aku menyimpan akhir cerita hingga kau datang. Aku hanya ingin mengakhiri cerita itu di depanmu, agar aku dapat merasakan keteganganmu lebih dekat. Adakah kau marah, kesal, atau justru senang?

Mungkin nanti kau bakal kecewa, seperti halnya diriku ketika film Korea itu ternyata berakhir menyedihkan.

Keretamu belum tiba juga. Rasanya demikian lama. Tetapi aku berusaha menikmati penantianku, layaknya tokoh utama film Korea itu menikmati segenap upayanya mencari gadis idamannya, sebelum kemudian menemukan gadis itu di sebuah toko bunga kecil yang agak tersembunyi di sudut jalan.

Toko bunga itu ditemukannya tak sengaja setelah sekian lama mencari. Saat itu ia baru keluar dari hotel tempat ia bertemu dengan seorang klien, ketika gerimis mendadak jatuh. Ia baru saja berpikir hendak kembali ke hotel, kalau matanya tidak keburu menangkap bayangan bunga-bunga beragam warna. Sebuah toko bunga kecil yang meriah, dengan pot-pot bunga tertata rapi di teras, sebagian bergantungan. Toko bunga kecil itu berada tepat di seberang hotel, agak tersembunyi di pojok jalan, diapit butik batik dan sebuah swalayan cukup besar. Ia tertegun dengan jantung berdebar kencang. Kemudian, tanpa menghiraukan lagi gerimis yang melebar, ia segera berlari menyeberang jalan, sambil merutuk habis-habisan kenapa tidak pernah menyadari keberadaan toko bunga itu padahal cukup sering ia keluar-masuk hotel yang baru ditinggalkannya.

Gadis itu ternyata ada di sana! Agak terkejut ketika melihat kedatangannya, tetapi segera menyambutnya dengan riang dan ramah.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya gadis itu sambil tersenyum. Ia hanya terpaku dan merasa tubuhnya mendadak menjelma jadi manekin sebagaimana yang ada di butik sebelah toko bunga.

Aku tak ingin seperti itu di depanmu nantinya?
Hujan tercurah semakin deras. Aku mengetuk-ketukkan ujung payungku dengan sedikit jengkel ke lantai peron. Sebuah kereta baru saja memasuki stasiun beberapa menit yang lalu, namun bukan dari jurusan kotamu. Kau naik kereta apa sih? Aku mencoba menghubungi ponselmu, tetapi lagi-lagi masuk ke mailbox. Kenapa mematikan ponsel? Takut kecopetan atau ditodong dalam kereta? Atau jangan-jangan kau tak jadi datang? Kau hanya mempermainkanku? Padahal sebelum aku sampai ke stasiun ini, kita masih sempat bercakap-cakap lumayan lama.

Peron kian gerah dengan orang-orang yang berdesakan. Maklum akhir pekan. Kembali terdengar suara pluit melengking. Keras dan panjang. Lalu disusul pengumuman dari pengeras suara: sebuah kereta dari jurusan kotamu sedang memasuki stasiun. Aku berpaling dengan tegang, dan hujan kian menjadi. Kurasa keringat dingin membasahi sekujur tubuhku.


***


Dilarang Menjala Ikan di Hari Sabtu



Cerpen: Denny Prabowo




Akhirnya aku menjejakkan kaki di daratan. Sebuah pulau yang entah apa nama sebenarnya. Tak tercatat dalam peta yang kubawa. Pasir itu permadani putih. Terhampar sunyi seperti tak pernah disentuh kaki. Karang-karang membenteng tumbuh di sepanjang bibir pantai. Inikah yang mereka sebut Pulau Monyet?

"Jangan pergi ke sana! Kau tak akan selamat. Karang-karang itu akan melumatmu!" Kandaena Rahmah, punggawa posasi? sande? Sinar Ilahi yang kutumpangi memperingatkan.

"Aku tak akan mengurungkan niatku. Aku harus ke tempat itu."
"Lupakan saja pulau itu!" tambahnya, "kau tak akan menemui siapa pun di sana kecuali roh-roh jahat dan kera-kera lapar!" katanya menakut-nakuti. Pangguling sande? itu terus berkonsenterasi pada laju perahu. Tangannya sibuk mengatur bukaan guling dan menarik baya-baya . Duduk di buritan. Lutut kanannya menempel di antara dada dan ketiak. Paha dan betis kirinya merapat di lantai perahu, sehingga kaki kirinya berada di belakang tumit kaki kanannya. Di antara telujuk dan jari tengah tangan kirinya, selinting rokok terselip. Sekepul asap terembus dari bibirnya yang hitam.

Bukan tanpa alasan Kandaena Rahmah berucap seperti itu. Dia sangat khawatir kepadaku. Pulau ini memang telah lama dikucilkan. Tak seorang pun sudi singgah. Hikayatnya serupa dongeng suci yang dikisahkan dari generasi ke generasi. Aku mendengarnya di sebuah kedai kopi dekat pelelangan ikan. Ketika itu, sebuah sande? merapat ke bibir pantai dengan seorang potangnga berwajah lesi. Tubuhnya menggigil seperti diserang malaria. Bibirnya bergetar merapal kata yang sama. Berulang-ulang. Seperti mantera. "Pulau monyet? pulau monyet?" Telunjuknya menuding lautan. Orang-orang yang pergi motangnga bersamanya tak meninggalkan jejak. Menghilang.

"Sudah diperingati jangan menjala ikan di sekitar pulau monyet," kata pemilik kedai kopi, "di sana banyak penunggunya!"

"Hari apa ini?" tanya lelaki buta yang duduk di sampingku. Biji matanya hanya selaput putih penuh guratan dan bintik-bintik merah darah. Entah sejak kapan dia berada di situ. Aku tak terlalu memperhatikannya.

"Sabtu," jawabku. Meniup ke dalam gelas kopi. Uap kopi berhamburan tak beraturan. Aroma bubuk hitam itu menyerbu lubang pernapasanku.

"Kutukan itu masih berlaku!" Lelaki buta itu berucap seperti pada dirinya sendiri.
"Kutukan?" Aku mengangkat wajahku. Bibirku belum lagi menyentuh kopi hitam dalam gelas.
"Kau belum mendengarnya?" Telinganya bergerak-gerak seperti mencari keberadaanku.

"Saya pendatang di tempat ini. Mak saya berasal dari sekitar sini. Tapi saya lama tinggal di pulau Jawa. Entah dari mana asal bapak saya, saya tak pernah mengenalnya."

Lelaki buta itu mengeluarkan sebuah buku tua. Semacam kitab. Entah apa. Terbuat dari kulit binatang. Mungkin usia buku itu jauh lebih tua darinya. Dia mencium buku tua itu. Sebelum mendekapnya dalam dada.
"Semuanya ada di sini. Dalam kitab ini. Kutukan itu bukan sebuah dongeng. Tapi sejarah yang terjadi beribu tahun silam."

Aku meletakkan gelas kopiku di atas meja. Wajah lelaki buta itu menunduk seperti menyesali sesuatu. Bibirnya berucap yang tak bisa terdengar oleh telingaku. Aku sudah lama mendengar hikayat Pulau Monyet dari mulut ke mulut. Untuk alasan itu aku berada di tempat ini, kampung halaman makku. Tapi baru lelaki tua itu yang tak sekadar melisankannya, tapi memiliki kitab yang mencatatnya.

"Maaf," ucapku, "tapi bagaimana Bapak bisa tahu apa yang tertulis dalam kitab itu, sedang Bapak tidak melihat?"

"Mataku buta. Tapi hatiku melihat. Telingaku mendengar. Permukaan kulitku bisa merasa. Kitab ini pusaka keluarga yang diwariskan turun-temurun, sejak beribu tahun silam."

"Ceritakan kepadaku tentang kutukan itu," kataku pada lelaki buta itu.
Lelaki buta tak segera menjawab. Ia menggeser posisi duduknya menghadap ke arahku. Lubang hidungnya bergerak-gerak membaui udara. Telinganya serupa antena pada insecta. Jejari tangannya yang keriput menyentuh wajahku. Meraba bulu-bulu halus yang tumbuh lebat di pipi, rahang, hingga ke daguku. Perlahan jari tangan itu menelusup ke dalam syal yang melingkari batang leherku. Tiba-tiba keningnya berkerut. Sejenak terdiam. Raut wajahnya telaga sunyi yang dilempari sebongkah batu. Beriak. Mengusik ketenangan. Lalu. Mengeluarkan tangannya dari dalam syalku. Mengangguk-angguk seperti dokter, yang berhasil mendiagnosa pasiennya.

Lelaki buta itu menyeruput kopi dalam gelasnya. Menghirup udara. Dalam. Sebelum mulai bertutur sebuah hikayat kepadaku dari kitab yang dibawanya. Hikayat Pulau Monyet.
***
Cerita ini terjadi beribu tahun silam. Dalam catatan kitab ini, tak diberi tahu apa nama pulau itu, sebelum kutukan diturunkan bagi penduduknya yang ingkar. Semua bermula dari kedatangan seorang lelaki asing ke pulau itu. Tak ada yang tahu dari mana lelaki itu berasal. Suatu pagi selepas laut membadai, penduduk pulau itu menemukannya terbaring di atas pasir mendekap sebuah kitab. Wajahnya seperti kebanyakan pria dari suatu tempat di Timur Tengah. Hampir serupa dengan wajah para penduduk pulau itu. Mungkin dia berasal dari tempat yang sama dengan leluhur orang-orang yang tinggal di pulau itu.

Entah bagaimana dia bisa sampai di pulau itu. Mungkin dia terlempar dari atas kapal saudagar, ketika laut membadai. Sebuah keajaiban. Lelaki itu masih bernapas ketika para penduduk menemukannya. Lalu merawatnya.

Pulau itu berada di perairan dalam sebuah selat. Seperti dataran terapung di tengah lautan luas. Senoktah hitam di lembaran samudera. Setitik debu di luasnya sahara. Penduduk pulau itu nelayan seluruhnya. Mereka tinggal di kaki-kaki bukit tak jauh dari pantai. Bukit yang terangkat dari dasar lautan akibat proses tektonik, jutaan tahun lampau. Konon, nenek moyang penduduk pulau itu juga berasal dari suatu tempat di Timur Tengah bagian utara. Mereka terusir dari tanah kelahiran akibat penyerangan besar-besaran oleh sebuah kerajaan.

Hampir setiap malam, lelaki itu membaca kitab yang dibawanya-satu-satunya harta miliknya. Suaranya merdu. Seperti orang yang sedang berlagu. Penduduk pulau itu suka mendengarnya. Meski tak mengerti kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya. Namun, sebagian kaum tua penduduk pulau itu merasa akrab dengan kalimat yang diucapkan lelaki asing itu. Seperti menghitung mundur waktu. Ketika mereka mendengarkan lelaki itu membaca kitabnya. Mengembalikan potongan-potongan ingatan yang melekang. Dihajar masa. Berjarak ratusan tahun dari ketika pertama kali leluhur mereka menjejak kaki di pulau itu. Mereka membayangkan kampung halamannya nun jauh di sana. Kampung halaman yang hanya tinggal sebagai cerita: hikayat yang dituturkan dari generasi ke generasi. Tentang tanah yang diberkahi Tuhan. Tanah yang dijanjikan. Bagi umat yang teguh memegang risalah yang ditulis Tuhan pada dua lempeng batu di atas Thursina. Risalah yang diajarkan oleh lelaki yang membelah lautan dengan tongkatnya. Risalah yang kelak akan disempurnakan oleh Al Mustafa.

Begitulah. Setelah pulih, lelaki asing itu bermaksud tinggal di pulau hendak mengajarkan kitab yang dibawanya. Keterdamparannya di pulau itu bukan sebuah ketidaksengajaan. Sudah lama dia mendengar tentang suku-suku dari kaumnya yang melarikan diri dari tanah kelahiran. Lelaki itu percaya, tangan-tangan Tuhan yang telah menuntunnya ke tempat itu.

Lelaki itu tak perlu beradaptasi lama. Bahasa mereka hampir serupa. Hanya beberapa kosa kata yang berbeda. Lagi pula dia bisa bicara dengan bahasa tubuh. Penduduk di pulau itu pun menerimanya seperti famili jauh yang sedang bertamu. Dia bahkan dibuatkan bangunan sendiri sebagai tempat tinggal. Dikirimi hasil tangkapan laut setiap hari untuk mengisi perut.

Sampai pada suatu petang di hari Jumat. Dia datang mengetuk tiap pintu. Menyampaikan seruan, "Jangan menjala ikan di hari Sabtu!" Tak seorang pun penduduk pulau itu yang mau mendengar seruannya. Mereka hanya tersenyum-senyum saja menanggapinya. Bagi mereka tiap hari adalah sama. Laut selalu menyediakan ikan pada hari apa saja. Tak ada alasan untuk tidak pergi melaut.

Lelaki itu tak jera. Dia terus menyampaikan seruan yang sama, setiap Jumat petang, "Jangan menjala ikan di hari Sabtu!"

"Mengapa kami tak boleh menjala ikan di hari Sabtu?"
"Enam hari Tuhanmu menciptakan bumi, dan berhenti pada hari ketujuh."

"Lalu apa hubungannya dengan menjala ikan di hari Sabtu?"
"Begitu hukum keempat, dari sepuluh perintah yang Tuhan tulis di atas dua buah lempengan batu, di bukit Thursina. Tuhan tak meminta banyak kepada kalian. Hanya satu hari. Satu hari di hari Sabtu untuk mengingat-Nya. Mengagungkan nama-Nya."

"Laut di sini menyediakan banyak ikan di hari Sabtu. Mengapa kami harus mendegarkanmu?"

"Bukan aku. Tapi Tuhanmu. Aku hanya menyampaikan risalah yang Tuhan titipkan pada lelaki pilihan yang membelah lautan dengan tongkatnya. Masih ingatkah kalian pada raja lalim yang mengaku sebagai Tuhan? Dia musnah ditelan lautan yang dibelah dengan tongkat oleh lelaki itu! Begitu perjanjian yang Tuhan ambil bagi kaum kita. Dan Dia akan menimpakan azab bagi yang mengingkarinya."

"Tuhan tidak berbuat apa-apa ketika orang tua kami terusir dari tanah kelahirannya. Mana tanah yang dijanjikan bagi kami?"
"Tuhan tak pernah ingkar. Ketetapannya pasti berlaku."

Begitulah. Pada Sabtu pagi. Mereka menemukan ikan-ikan terapung-apung di permukaan laut. Mati. Mereka malah menganggapnya berkah karena mereka tak berhenti menjala ikan di hari Sabtu. Dan hari-hari setelah itu, tak seekor pun ikan yang bisa mereka jala.

Lelaki itu tak bosan menyampaikan seruan. Pada setiap Jumat petang. Sampai penduduk pulau itu berang. Mereka menuding lelaki itu seorang tukang sihir yang menyebabkan ikan-ikan menghilang dari lautan.

Matahari baru saja menenggelamkan seluruh tubuhnya ke balik tebing cakrawala, ketika lelaki itu dinaikan ke atas sampan untuk dilarung ke tengah lautan. Tanpa bekal makanan. Mereka merebut kitab yang dibawanya. Dan membakarnya!

Sampan lelaki itu belum jauh meninggalkan bibir pantai. Ketika laut tiba-tiba saja bergejolak. Angin berhembus kencang. Langit bergemuruh. Lelaki itu bersujud dalam sampannya. Menangis tersedu. Ketetapan Tuhan pasti berlaku, dia berucap lirih dalam hati. Pagi hari. Lelaki itu berhasil membawa sampannya merapat kembali ke pulau itu. Mengetuk tiap pintu rumah. Tapi tak ada semakhluk manusia pun tinggal di sana, kecuali monyet-monyet yang berjalan dengan kedua kaki laiknya manusia. Tuhan telah mengutuk seluruh penduduk pulau itu menjadi monyet!
***
Lelaki buta itu menepuk pundakku. "Semoga kau temukan apa yang kau cari!" Begitu ucapnya, sebelum meninggalkan kedai kopi. Sepeninggal lelaki buta itu, aku langsung menemui Kandaena Rahmah, seorang punggawa posasi? pemilik sande? Sinar Ilahi yang masih kerabat jauh makku.

"Kau sungguh-sungguh hendak pergi ke pulau itu?"
Aku mengangguk mantap. Tekadku sudah bulat.

"Tapi aku tak bisa menemanimu ke tempat itu."
"Tak perlu. Cukup tunjukkan saja letak pulau itu dari jauh. Aku akan datang sendiri ke tempat itu."

Kandaena Rahmah menarik napas dalam. Mengembuskannya dalam sekali tekanan. Seperti merasa berat, ketika dia berucap, "Baiklah. Aku akan menunjukkannya kepadamu. Baru dua hari lagi kami akan pergi motangga. Masih ada waktu kalau-kalau kau berubah pikiran."

Dua hari kemudian, dengan sande? Sinar Ilahi, kami berlayar ke utara menuju Teluk Paboang. Titik singgah para potangnga, sebelum berlayar ke tengah lautan. Di tempat itu kami mengisi bekal air tawar.

Begitulah. Setelah berhari-hari berlayar. Dari jauh tampak sebuah daratan dengan karang-karang menjulang di bibir pantainya. Pulau Monyet. Dengan lepa-lepa aku merapat ke bibir pantai. Seorang diri. Pulau itu tampak sepi. Aku menarik lepa-lepa dari air. Menambatkannya pada batang nyiur.

Berdiri di atas pasir pantai Pulau Monyet, aku merasa dekat dengan asal-usulku. Aku berharap bisa bertemu dengan bapakku di tempat ini.


***


Jumat, 01 Mei 2015

Cinta di Atas Perahu Cadik



Cerpen: Seno Gumira Ajidarma

Bersama dengan datangnya pagi maka air laut di tepi pantai itu segera menjadi hijau. Hayati yang biasa memikul air sejak subuh, sambil menuruni tebing bisa melihat bebatuan di dasar pantai yang tampak kabur di bawah permukaan air laut yang hijau itu. Cahaya keemasan matahari pagi menyapu pantai, membuat pasir yang basah berkilat keemasan setiap kali lidah ombak kembali surut ke laut. Onggokan batu karang yang kadang-kadang menyerupai perahu tetap teronggok sejak semalam, sejak bertahun, sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Bukankah memang perlu waktu jutaan tahun bagi angin untuk membentuk dinding karang menjadi onggokan batu yang mirip dengan sebuah perahu.

Para nelayan memang hanya tahu perahu. Bulan sabit mereka hubungkan dengan perahu, gugusan bintang mereka hubung-hubungkan dengan cadik penyeimbang perahu, seolah-olah angkasa raya adalah ruang pelayaran bagi perahu-perahu seperti yang mereka miliki, bahkan atap rumah-rumah mereka dibuat seperti ujung-ujung perahu. Tentu, bagaimana mungkin kehidupan para nelayan dilepaskan dari perahu?

Hayati masih terus menuruni tebing setengah berlari dengan pikulan air pada bahunya. Kakinya yang telanjang bagaikan mempunyai alat perekat, melangkah di atas batu-batu hitam berlumut tanpa pernah terpeleset sama sekali, sekaligus bagaikan terlapis karet atau plastik alas sepatu karena seolah tidak berasa sedikit pun juga ketika menapak di atas batu-batu karang yang tajam tiada berperi.

"Sukab! Tunggu aku!"

Di pantai, tiba-tiba terdengar derum suara mesin.

"Cepatlah!" ujar lelaki bernama Sukab itu.

Ternyata Hayati tidak langsung menuju ke perahu bermesin tempel tersebut, melainkan berlari dengan pikulan air yang berat di bahunya itu. Hayati berlari begitu cepat, seolah-olah beban di bahunya tiada mempunyai arti sama sekali. Ia meletakkannya begitu saja di samping gubuknya, lantas berlari kembali ke arah perahu Sukab.

"Hayati! Mau ke mana?"

Seorang nenek tua muncul di pintu gubuk. Terlihat Hayati mengangkat kainnya dan berlari cepat sekali. Lidah-lidah ombak berkecipak dalam laju lari Hayati. Wajahnya begitu cerah menembus angin yang selalu ribut, yang selalu memberi kesan betapa sesuatu sedang terjadi. Seekor anjing bangkit dari lamunannya yang panjang, lantas melangkah ringan sepanjang pantai yang pada pagi itu baru memperlihatkan jejak-jejak kaki Sukab dan Hayati.

Perahu Sukab melaju ke tengah laut. Seorang lelaki muncul dari dalam gubuk.

"Ke mana Hayati, Mak?"

Nenek tua itu menoleh dengan kesal.





"Pergi bersama Sukab tentunya! Kejar sana ke tengah laut! Lelaki apa kau ini! Sudah tahu istri dibawa orang, bukannya mengamuk malah merestui!"

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Hayati dan Sukab saling mencintai, kami akan bercerai dan biarlah dia bahagia menikahi Sukab, aku juga sudah bicara kepadanya."

Nenek yang sudah bungkuk itu mengibaskan tangan.

"Dullaaaaah! Dullah! Suami lain sudah mencabut badik dan mengeluarkan usus Sukab jahanam itu!"

Lelaki yang agaknya bernama Dullah itu masuk kembali, masih terdengar suaranya sambil tertawa dari dalam gubuk.

"Cabut badik? Heheheh. Itu sudah tidak musim lagi Mak! Lebih baik cari istri lain! Tapi aku lebih suka nonton tivi!"

Angin bertiup kencang, sangat kencang, dan memang selalu kencang di pantai itu. Perahu Sukab yang juga bercadik melaju bersama cinta membara di atasnya.

Pada akhir hari setelah senja menggelap, burung-burung camar menghilang, dan perahu-perahu lain telah berjajar-jajar kembali di pantai sepanjang kampung nelayan itu, perahu Sukab belum juga kelihatan.

Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian.

"Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa."

"Perahu Sukab menyalipku, kulihat Hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia."

"Oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya."

Nenek itu memaki.

"Istri orang di perahu suami orang! Keterlaluan!"

Namun ia masih mengetuk pintu gubuk-gubuk yang lain.

"Aku lihat perahunya, tetapi tidak seorang pun di atasnya. Bukankah memang selalu begitu jika Hayati berada di perahu Sukab?"

"Ya, tidakkah selalu begitu? Kalau Hayati naik perahu Sukab, bukannya tambah penumpang, tetapi orangnya malah berkurang?"

Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundal sendirian.

"Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan!"

Ia menuju gubuk Sukab. Seorang anak perempuan yang rambutnya merah membuka pintu itu, di dalam terlihat istri Sukab terkapar meriang karena malaria.

"Waleh! Apa kau tahu Sukab pergi dengan Hayati?"

Perempuan bernama Waleh itu menggigil di dalam kain batik yang lusuh, mulutnya bergemeletuk seperti sebuah mesin. Wajahnya pucat, berkeringat, dan di dahinya tertempel sebuah koyo. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Nenek tua itu melihat ke sekeliling. Isinya sama saja dengan isi semua gubuk nelayan yang lain. Dipan yang buruk, lemari kayu yang buruk, pakaian yang buruk tergantung di sana-sini, meja buruk, kursi buruk, dan jala di dinding kayu, berikut pancing dan bubu. Ada juga pesawat televisi, tetapi tampaknya sudah mati. Alas kaki yang serba buruk, tentu saja tidak ada sepatu, hanya sandal jepit yang jebol. Sebuah foto pasangan bintang film India, lelaki dan perempuan yang sedang tertawa dengan mata genit, dari sebuah penanggalan yang sudah bertahun-tahun lewat.

Ia tidak melihat sesuatu pun yang aneh, tapi mungkin ada juga yang lain. Sebuah foto Bung Karno yang usang dan tampak terlalu besar untuk rumah gubuk ini, di dalam sebuah bingkai kaca yang juga kotor. Nyamuk berterbangan masuk karena pintu dibuka.

Pandangan nenek tua itu tertumbuk kepada anak perempuan yang menatapnya.

"Mana Bapakmu?"

Anak itu hanya menunjuk ke arah suara laut, ombak yang berdebur dan mengempas dengan ganas.

Nenek itu lagi-lagi menggelengkan kepala.

"Anak apa ini? Umur lima tahun belum juga bisa bicara!"

Waleh hanya menggigil di balik kain batik lusuh bergambar kupu-kupu dan burung hong. Giginya tambah gemeletuk dalam perputaran roda-roda mesin malaria.

Nenek itu sudah mau melangkah keluar dengan putus asa, ketika terdengar suara lemah dari balik gigi yang gemeletuk itu.

"Aku sudah tahu?"

"Apa yang kamu sudah tahu, Waleh?"

"Tentang mereka?"

Nenek itu mendengus.

"Ya, kamu tahu dan tidak berbuat apa-apa! Dulu suamiku pergi ke kota dengan Wiji, begitu pulang kujambak rambutnya dan kuseret dia sepanjang pantai, dan suamiku masuk rumah sakit karena badik suami Wiji. Masih juga mereka berlayar dan tidak pulang kembali! Semua orang yang melaut bilang tidak melihat sesuatu pun di atas perahu ketika melewati mereka, tapi ada yang hanya melihat perempuan jalang itu tidak memakai apa-apa meski suamiku tidak kelihatan di bawahnya! Mengerti kamu?"
Waleh yang menggigil hanya memandangnya, seperti sudah tidak sanggup berpikir lagi.

"Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tapi kamu rugi belum menghukum si jalang Hayati!"

Mendengar ucapan itu, Waleh tampak berusaha keras melawan malarianya agar bisa berbicara.

"Aku memang hanya orang kampung, Ibu, tetapi aku tidak mau menjadi orang kampungan yang mengumbar amarah menggebu-gebu. Kudoakan suamiku pulang dengan selamat?dan jika dia bahagia bersama Hayati, melalui perceraian, agama kita telah memberi jalan agar mereka bisa dikukuhkan."

Waleh yang seperti telah mengeluarkan segenap daya hidupnya untuk mengeluarkan kata-kata seperti itu, langsung menggigil dan mulutnya bergemeletukan kembali, matanya terpejam tak dibuka-bukanya lagi.

Nenek tua itu terdiam.

Hari pertama, kedua, dan ketiga setelah perahu Sukab tidak juga kembali, orang-orang di kampung nelayan itu masih membayangkan, bahwa jika bukan perahu Sukab muncul kembali di cakrawala, maka tentu mayat Sukab atau Hayati akan tiba-tiba menggelinding dilemparkan ombak ke pantai. Namun karena tidak satu pun dari ketiganya muncul kembali, mereka percaya perahu Sukab terseret ombak ke seberang benua. Hal itu selalu mungkin dan sangat mungkin, karena memang sering terjadi. Mereka bisa terseret ombak ke sebuah negeri lain dan kembali dengan pesawat terbang, atau memang hilang selama-lamanya tanpa kejelasan lagi.

"Aku orang terakhir yang melihat Sukab dan Hayati di kejauhan, perahu mereka jauh melewati batas pencarian ikan kita," kata seseorang.

"Sukab penombak ikan paling ahli di kampung ini, sejak dulu ia selalu berlayar sendiri, mana mau ia mencari ikan bersama kita," sahut yang lain, "apalagi jika di perahunya ada Hayati."

"Apakah mereka bercinta di atas perahu?"

"Saat kulihat tentu tidak, banyak lumba-lumba melompat di samping perahu mereka."

Segalanya mungkin terjadi. Juga mereka percaya bahwa mungkin juga Sukab dan Hayati telah bermain cinta di atas perahu dan seharusnya tahu pasti apa yang akan mereka alami.

Di pantai, kadang-kadang tampak Waleh menggandeng anak perempuannya yang bisu, menyusuri pantulan senja yang menguasai langit pada pasir basah. Kadang-kadang pula tampak Dullah yang menyusuri pantai saat para nelayan kembali, mereka seperti masih berharap dan menanti siapa tahu perahu cadik yang berisi Sukab dan Hayati itu kembali. Namun setelah hari keempat, tidak seorang pun dari para nelayan di kampung itu mengharapkan Sukab dan Hayati akan kembali.

"Kukira mereka tidak akan kembali, mungkin bukan mati, tetapi kawin lari ke sebuah pulau entah di mana. Kalian tahu seperti apa orang yang dimabuk cinta?"

***

Namun pada suatu malam, pada hari ketujuh, di tengah angin yang selalu ribut terlihat perahu Sukab mendarat juga, Hayati melompat turun begitu lunas perahu menggeser bibir pantai dan mendorong perahu itu sendirian ke atas pasir sebelum membuang jangkar kecilnya. Sukab tampak lemas di atas perahu. Di tubuh perahu itu terikat seekor ikan besar yang lebih besar dari perahu mereka, yang tentu saja sudah mati dan bau amisnya menyengat sekali. Tombak ikan bertali milik Sukab tampak menancap di punggungnya yang berdarah?tentu ikan besar ini yang telah menyeret mereka berdua selama ini, setelah bahan bakar untuk mesinnya habis.

Hayati tampak lebih kurus dari biasa dan keadaan mereka berdua memang lusuh sekali. Kulit terbakar, pakaian basah kuyup, dan gigi keduanya jika terlihat tentu sudah kuning sekali?tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya terdiam saling memandang. Keduanya mengerti, cerita tentang ikan besar ini akan berujung kepada perceraian mereka masing-masing, yang dengan ini tak bisa dihindari lagi.

Namun keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapa pun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik ini.


Hujan Mulai Deras, Malam !



Cerpen: Palti R Tamba


TAMAN itu sepi. Berbeda dari malam-malam sebelumnya yang selalu menjadi rumah tidur para gelandangan. Hanya ada perempuan itu dan lelaki itu. Mereka telah lama duduk di pelataran patung pahlawan asal kota ini, di tengah taman. Berjarak tujuh meterlah. Tak bercakap. Sekilas saja perempuan itu melihat lelaki itu sejak tiba. Demikian pula, sebaliknya.

Perempuan itu, juga lelaki itu, melayangkan mata ke jam besar di perempatan jalan sana. Sudah pukul sebelas lewat!

Mereka pun - masing-masing - menghela nafas.

Lalu, perempuan itu berniat lebih teliti melihat lelaki itu. Karena, ia takut kalau-kalau bukan lelaki itu yang hadir, melainkan lelaki asing. Tapi niat itu pun gugur. Ia malu kalau sampai tepergok lelaki itu. Yang berarti akan menunjukkan bahwa ia membutuhkan lelaki itu. Sementara, ia merasa bukan perempuan lemah. Namun ia meyakinkan dirinya bahwa lelaki itu memang satu dari tiga lelaki yang telah berjanji dengannya malam ini. Maka dengan tenang ia kembali menengadah. Kalaupun dia bukan lelaki itu, aku masih bisa menunggu dua laki-laki lainnya! pikirnya.

Demikian juga, lelaki itu ingin melihat lebih jelas perempuan itu. Ia takut kalau-kalau perempuan itu tertidur dan kedinginan karena kelamaan menunggu dua laki-laki lagi. Tapi, niatnya itu sengaja ia tahan. Ia mau perempuan itu yang datang mendekatinya, menyapanya, dan... dengan tenang ia pun melempar pandang ke gerbang utama taman. Alangkah baiknya kalau dua laki-laki itu tak datang! pikirnya.

"La-ngit ge-lap...!" suara perempuan itu mengiris malam, tiba-tiba.

Lelaki itu senang mendengarnya, segera menoleh perempuan itu. "Kau kedinginan...?"

Tak ada jawaban.

"Kau kedinginan...?" Lelaki itu mengulang, masih menoleh perempuan itu.

"Kedinginan? Huhh...!" kata perempuan itu ketus, tetap tak menoleh.

Lelaki itu menghela nafas sambil memindahkan matanya dari perempuan itu.

Kemudian. Tiba-tiba lagi.

"Aku akan menguburnya...!" Perempuan itu bergegas ke barat taman.

"Se-o-rang di-ri...?" suara lelaki itu mengejar.

Tak ada jawaban.

"Kau bi-sa...?" suara lelaki itu terus mengejar.


Tak ada jawaban.

Lelaki itu melongo. Matanya mengikuti perempuan itu. Ia tahu bahwa perempuan itu tak akan kuat membawa mayat itu. Ia yakin itu...

***

SEBELUM subuh tadi, seorang lelaki kekar berpakaian dan bertopeng hitam membangunkan perempuan itu, lelaki itu dan dua lelaki lainnya. Merekalah yang berhasil dibangunkannya cepat-cepat di antara para gelandangan di taman itu. Dan ketika terbangun, mereka takut, lalu bermaksud melarikan diri. Bahkan perempuan itu sempat berteriak, "Hantu, hantu!"

Tapi lelaki berpakaian serba hitam itu menenangkan mereka. Sambil meletakkan mayat dari gendongan, ia berkata, "Kalian mau uang...?"

Tiga laki-laki dan perempuan itu terperangah, saling pandang, kemudian mengangguk berbarengan.

"Kalau begitu, kalian mau menguburkan mayat ini...!"

"Ma-yat? Mayat siapa...?" tanya mereka.

"Kalian akan tahu nanti...!" katanya sembari mengeluarkan segepok uang dan melambai-lambaikannya dekat di muka mereka. "Tapi tutup wajahnya jangan dilepas...!"

"Di mana dikubur...?" tanya seorang dari tiga lelaki itu.

"Terserah kalian...tapi jangan ketahuan orang-orang lain!...Bagaimana...?"

Perempuan itu dan para lelaki itu saling pandang. Mereka mengiyakan cepat-cepat dengan mata tertuju kepada uang segepok itu.

"Kau yang memegang uang ini," kata lelaki berpakaian dan bertopeng hitam pada perempuan itu. "Tapi ingat! Aku bunuh kalian kalau ingkar!...Baiklah, aku pergi..."

Lalu perempuan itu, dan ketiga lelaki itu mengamati mayat itu. Tingginya sedang dan tidak terlalu gemuk. Dadanya berlubang, darah mengering di sekitarnya. Mereka benar-benar tak berani membuka kantong plastik hitam tebal yang membungkus kepala mayat itu.

Lelaki itu meraba-raba saku celana dan baju dari mayat itu.

"Ada uangnya...?" tanya lelaki kedua.

Lelaki itu menggelengkan kepala, lalu katanya, "Bagaimana kalau kita hanyutkan saja di sungai sana? Atau kita biarkan saja begini? Kita bagi uangnya dan tinggalkan tempat ini untuk selamanya..."

"Aku setuju...!" kata laki-laki lainnya bersamaan.

"Kalian tak takut dibunuhnya?" tanya perempuan itu.



"Ia tak mungkin menemukan kita lagi...!" jawab lelaki itu enteng.

Orang-orang yang baru bangun kaget melihat mayat itu, lalu pergi cepat-cepat.

"Bagaimana? Kita hanyutkan atau tinggalkan...?" kata lelaki itu mengulangi usulnya. "Kita bagi uang itu. Beres kan...?"

"Lalu dia datang membunuhmu?"

"Biar saja... kalau dia menemukan aku..." dumal lelaki itu.

"Kalau begitu kau tak perlu uang ini! Aku tak mau dibunuhnya...!"

"Tapi, tapi... di mana ada peristiwa pembunuhan," kata lelaki ketiga, menimbang dan ragu, "di situ ada po-li-si...!"

"Po-li-si?" tanya perempuan itu dan lelaki itu bersamaan, takut.

"Kalau begitu kita mesti cepat memutuskan!" lelaki kedua memandangi yang lainnya. "Siapa tahu polisi berpatroli ke taman ini dan melihat mayat ini..."

"Ya, kita kubur sajalah. Kita pun aman...!" usul lelaki ketiga pelan.

"Benar...!" sambut perempuan itu.

Orang-orang yang baru bangun lagi kaget melihat mayat itu. Mereka meninggalkan taman itu. Mereka tak mau dipusingkan soal mayat itu.

"Pakai tangan menggali tanah?" tanya lelaki itu kepada lelaki ketiga sambil menunjukkan kedua tangannya. "Di mana...?"

"Di kuburan...!" kata perempuan itu.

"Apa kau punya uang mengurus izin dan...?" balas lelaki itu.

Lelaki kedua memotong. "Sebentar lagi terang. Jangan bicara izin sekarang. Nanti kita tertangkap petugas ketertiban...!"

"Mayat ini...?" tanya perempuan itu.

"Kita sembunyikan dulu di bawah rimbunan bunga-bunga itu!" lelaki ketiga menunjuk ke sebelah barat taman. "Nanti malam kita bicarakan untuk menguburnya. Bagi saja uangnya sekarang...!"

Orang-orang yang baru terbangun lagi kaget melihat mayat itu, lalu pergi cepat-cepat setelah mengemasi 'barang-barang' mereka. Sampai akhirnya tinggal mereka berempat di taman itu.

"Kalau kalian tidak datang, bagaimana...?" desak perempuan itu.

"Aku datang...!" lelaki kedua mengangguk. "Lihat! Sudah ada orang lari pagi...!"


"Aku datang...!" jawab lelaki ketiga.

"Kalau begitu nanti malam kita bagi uangnya...!"

Lelaki ketiga mengajak lelaki kedua mengangkat mayat itu ke rimbunan bunga-bunga di barat taman, lalu pergi.

"Kau...?" Perempuan itu melihat lelaki itu.

"Aku tak mau berjanji...!" tegas lelaki itu. "Kau sendiri bagaimana...?"

"Aku datang karena aku takut dibunuhnya...!"

***

"DIKUBUR di mana...?" tanya lelaki itu, saat tiba di rimbunan bunga-bunga.

"Terserah aku...!" sahut perempuan itu ketus.

Di bawah sinar kekuningan lampu taman, lelaki itu merasakan tatapan perempuan itu seperti pisau menyayat dadanya perlahan-lahan dan menyebabkan keperihan yang dalam. Namun, lelaki itu tidak marah. Ia memang perlu uang. Supaya bisa pulang kampung, setelah menggelandang selama lima bulan karena kehilangan tas, uang dan kertas alamat sehingga tak berhasil bertemu anak perempuan pertamanya yang sebagai pekerja rumah tangga di kota ini. Tapi, ia tak mau merampok perempuan itu. Ia menghargai kesepakatan yang telah mereka buat. Dan lagi, ia pun menyadari, seandainya mayat itu adalah dirinya, betapa malangnya bila tak dikuburkan.

"Tunggu di sini ya...!" kata lelaki itu sembari mengingat-ingat dimana ia tadi melihat sebuah gerobak dorong. Entah gerobak siapa.

***

PEREMPUAN itu berjalan di sisi gerobak yang didorong lelaki itu. Gemuruh terdengar satu-satu. Mereka mempercepat langkah. Di jalanan satu-dua mobil melaju.

Saat tiba di pemakaman, gemuruh menggelegar sambung-menyambung. Mereka pun cepat-cepat dan dengan sekuat tenaga mengangkat mayat itu ke sebuah pusara bermarmar. Lalu si lelaki pergi mencari alat-alat yang bisa dipakai menggali tanah. Si perempuan berjongkok di sebelah mayat itu.

Beberapa menit lewat. Terpikir perempuan itu untuk melihat muka si mayat. Tapi ia tak berani juga. Terpikirnya pula untuk membagi uang itu dengan si lelaki itu tanpa mengubur mayat itu. Sehingga ia akan bisa pulang kampung, meskipun dengan malu. Karena gagal bertemu abangnya -- pengusaha korup di kota itu. Yang membuatnya sampai ditipu orang dan menjadi gelandangan sejak empat bulan lalu. Tapi ia mau ide begini datang dari lelaki itu.

Beberapa menit lewat. Perempuan itu pun berdiri. Ia menatap ke sekitarnya. Gelap. Satu lampu TL -- 10 Watt -- ada di gerbang masuk pemakaman. Satu lagi, ada di teras rumah penjaga kuburan dekat gerbang itu juga. Hh! Ia tiba-tiba tersadar kalau lelaki itu mungkin saja telah mencuri uang itu dan pergi. Maka secara spontan ia meraba segepok uang di balik kutangnya. Ada! bisiknya. Kemudian ia tersenyum. Kalau ia kabur, aku tinggalkan saja mayat ini. Besok aku bisa ke kampung!...
"Pak...!" Suaranya mengiris malam.

Tak ada jawaban.

"Pak...!"

Tak juga ada jawaban. Maka bulat hati perempuan itu untuk pergi.

Dan...

"Aku menemukan cangkul. Ayo cepat...!"

"Hhhh...I-i-iya...!"

Lelaki itu menggendong mayat itu sekuat tenaga, tapi kemudian menyeretnya. Dan perempuan itu membawa cangkul di belakangnya. Mereka melangkah sambil membungkuk supaya dapat melihat jalan di antara kuburan-kuburan itu. Mereka berjalan ke arah barat. Ada kuburan bermarmar, ada yang disemen biasa saja dan ada kuburan baru dipenuhi karangan bunga.

Hujan menetes. Lelaki itu teringat kubangan air yang sempat ia lihat tadi. Berjarak enam petak kuburan dari sini. Ia cepat-cepat menyeret mayat itu dan mengajak perempuan itu berjalan lebih cepat.

***

"DI SI-NI...?" tanya perempuan itu, sesaat tiba di tepi kubangan air itu.

"Benar," Lelaki itu menyeret mayat itu masuk ke dalam air, pelan-pelan. "Bantu dorong...!"

"I-i-iya...!"

"Mulailah...!"

"I-i-ya...?

"Pelan-pelan...!"

"Be-berat...!"

"Pelan-pelan...!"

"Ba-bagaimana ini...?"

Segepok uang kertas meloncat ke dalam air dari balik kutang perempuan itu. Perempuan itu tak mengetahuinya. Apalagi lelaki itu.

"Mari cangkulnya...!"




Plastik yang membungkus kepala mayat itu terlepas. Kalau saja lelaki itu dapat melihat dengan jelas, mayat itu adalah mayat majikan putrinya. Perempuan itu pun, kalau bisa melihat jelas, pasti mengenali mayat itu sebagai mayat abangnya -- pengusaha korup itu

Penjaga pemakaman dengan golok terhunus dan dengan senter menyala mendatangi mereka.

Hujan mulai deras.***




Cerpen: Palti R Tamba

Cikarang Selatan


Kamis, 30 April 2015

Tukang Bakso Harianku



Siang hari yang panas, hawa dengan semilir angin pun membuat mata terasa ingin dipenjamkan tetapi terlintas difikiran pun terjadi dan perut pun keroncongan. Aku berfikir enaknya itu makan, tapi makan apa ya?” berfikir sambil memegan perut yang terus keroncongan. Setelah itu aku berjalan menuju ruang yang bisa membuat perut ini tidak terus keroncongan, ruangan yang bisa disebut dapur. Diruang dapur aku berharap agar ada makanan yang dapat menghilangkan rasa lapar diperut ini.

Aku mencari disetiap tempat yang ada didapur termasuk meja makan tidak ada makan yang bisa aku makan untuk mengisi perut. Aku bertanya pada ibuku , “Kok tidak ada makanan di meja makan bu?” tanyaku ke pada ibu. Ibu menjawab “Ibu tidak memasak hari ini, kamu beli aja makan diluar!” seru ibukku.

Saat itu aku sangat malas untuk keliar rumah karena cuaca yang panas. Aku mulai berfikir untuk yang ke dua kalinya. “enaknya makan apa ini.” Terlintas difikiran ingin makan makanan favorit buatku. Bakso adalah makanan yang sangat favorit buatku. Seketika keinginanku untuk memakan bakso hanya dalam fikiran saja, dan pada saat itu aku mendengar suara tukang bakso, “tikk...tokk...tikk...tokk” langsung saja aku bergegas mengambil uang dan mangkuk. Ternyata penjual bakso yang lewat adalah tukang bakso langgananku.

Aku berbincang – bincang pada tukang bakso. “sangat pas sekali pak anda lewat pada saat saya ingin makan bakso” kata saya dengan senang. “wah..iya dong, bapak gitu loh” jawab bahasa yang alay bagiku. “wah lebay sangat bahasa bapak ini” sautku dengan tertawa. “ah, biasa saja” jawab tukang bakso dengan santainya. “ya sudah pak beli Rp 5.000 saja tanpa saus, terus sambal lumayan banyak!” suruh ku ke tukang bakso. “oke, siap dilayani” jawab tukang bakso. Beberapa detik menunggu racikan bakso dengan suara keroncongan diperut akhirnya pun bakso pesananku jadi.

Aku langsung mengambil bakso dari gerobak tukang basko tadi. Setelah itu aku masuk rumah dengan berkata “terima kasih banyak pak” dengan berjalan pelan. “sama – sama dek, kapan – kapan beli lagi ya dek” seru tukang bakso kepada ku. “Oke siap pak” jawab ku dengan nada sedikit seperti bergurau. Setelah aku masuk ke dalam rumah langsung saja aku memakan bakso tadi di meja makan yang berada didapur. Dan seperti biasa “kak mintak dikit ibu” kata ibuku. Karena ibukku memanggil aku dengan sebutan kakak. “iya ibu ini” jawab ku dengan nada rendah. “wah enak ya kak kalau sedikit menggangu kakak makan basko, hehe” kata ibukku sambil bercanda. “ah, ibu itu selalu begitu gak kaget bu kakak” jawab ku. Setelah itu ibukku pergi ke ruang tengah. Setelah ibuku meminta sedikit lalu aku langsung memakan sampai kenyang. Dan akhirnya selesai sudah masalahku dengan perut.


CERPEN
Karya : Prillano Setyo Praswara

Tanggal lahir : Blitar, 04 April 1997

SMK N 01 KADEMANGAN-BLITAR




Devina The Devil



“kring..kring..kring” suara jam baker b Devina pun terbangun dari tidurnya “Huaaahhh..ini jam berisik amat sih” ucap Devina kesal. Devina membuka kedua matanya dan terbelalak ketika melihat jam bakernya menunjukan pukul 06.30.” hah sial bangun kesiangan lagi “triak Devina. Ia segera berlari menuju kamar mandi. 20 menit kemudian Devina keluar dari kamarnya dan tergesa – gesa saat menuruni tangga. ”Dev, nggak sarapan dulu” tanya mamanya. “nggak ma Deviana udah telat nih” jawab Devina. “makanya kalau jadi anak cewek jangan malas – malasan” saut papanya. “udah deh pa kalau ceramah ditunda dulu, Devina buru – buru nih, Devina berangkat dulu ya” ucap Devina. “Hati – hati nak” kata mamanya.


Devina segera masuk ke dalam mobil mewahnya yang berwarna merah. Devina langsung tancap gas dan melaju dengan kecepatan tinggi. Ditengah perjalanan tiba – tiba mobil Devina berhenti. “lo..kenapa nih mobil kok tiba – tiba berhenti” ucap Devina. Devina segera keluar dan mengecek mobilnya. “kayaknya nih mobil baik – baik aja deh, terus kenapa mogok kayak gini, sialan bete guwe, kesel guwe” omel Devina. Tiba – tiba ada sebuah motor yang berhenti didepan mobil Devina. Devina seketika terdiam terpaku melihat pemuda yang turun dari motor itu. “hey..mobil loe kenapa?” tanya pemuda itu. “nggak tau nih tiba – tiba mogok” jawab Devina. “boleh guwe coba lihat mobil loe?” tanya pemuda itu. “em..boleh” jawab Devina. Ternyata setelah pemuda itu mengecek mobil Devina akhirnya ia menemukan masalah kenapa mobil Devina mogok. “bensin loe habis, makanya mobil loe nggak mau jalan” ucap pemuda itu. “hehehehe, oh iya guwe lupa isi bensin, terus gimana nih?” tanya Devina. “di depan itu ada Pom guwe bantu dorong mobil loe sampai ke sana” tawar pemuda itu. “oke ayo ucap Devina”. Setelah mengisi bensin Devina berbincang – bincang sebentar dengan pemuda itu. “makasih ya udah bantuin guwe, nama loe siapa?” tanya Devina. “nama guwe Aldo” jawab pemuda itu. “eh tunggu – tunggu seragam kita kok sama ya?” tanya Devina. “iya, iyalah kita kan satu sekolahan Devina The Devil “seru Aldo. “loh loe kok tau sih julukan guwe?” tanya Devina heran. “Siapa coba yang gak kenal Devina The Devil cewek yang paling galak satu sekolahan”ucap aldo. Berarti “loe juga sekolah di SMA Nusa Bangsa, kok guwe gak pernah lihat loe?” tanya Devina. “guwe dikelas 12 IPA 1” jawab Aldo. Devina teringat sesuatu.

“eh ini sudah jam berapa ya?” tanya Devina.”jam 07:30” jawab aldo

“ya ampun...kita telat dong,gimana nih”ucap devina panik.”biasa aja keles...kita kan hari ini masuk jam 08:30 “ ucap pemuda itu. “oh iya gue lupa”ucap devina.

Mereka pun tiba disekolah,Devina tersenyum-senyum sendiri.”hoe...loe kenapa,gila loe ya” ucap angel mengagetkan devina.”enak aja gue masih waras keles”ucap devina kesal. “la terus ngapain loe senyum – senyum sendiri” tanya Angel. “hee..guwe seneng banget hari ini” ucap Devina. “kenapa?” tanya Angel. “guwe habis ketemua cowok, keren habis pokoknya” ucap Devina. “Siapa?” tanya Angel penasaran. “kakak kelas kita, namanya Aldo” jawab Devina sambil tersenyum. “Aldo anak 12 IPA 1?” tanya Angel. “hee..iya” jawab Devina. ” Terus loe suka sama dia tanya Angel”. Devina hanya tersenyum. Lalu Angel pergi meninggalkan Devina. “loh kok guwe ditinggal sih” ucap Devina. Dan ternyata Angel sudah lama suka pada Aldo. Sebulan telah berlalu Angel merasa kesal setiap saat melihat Aldo dan Devina selalu bersama, dan tak pernah memperdulikan Angel. Hingga suatu hari Angel mempunyai niat buruk kepada Devina. Ketika Devina berjalan menuju lapangan basket tiba – tiba ada seseorang yang sengaja menjatuhkan pot bunga dan nyaris mengenai Devina, tapi untung saja Aldo berhasil menyelamatkan Devina.

“Loe gak apa – apa kan Dev?” tanya Aldo. “gak apa – apa kok, makasih ya” ucap Devina. “iya, sama – sama jawab Aldo. “guwe bingung nih, kenapa pot bunga ini bisa jatuh ya” ucap Devina. “mungkin tertiu angin kali, udah deh gak usah difikirin lagi” ucap Aldo. “tapi...” ucap Devina. Udah – udah yang penting kamu gak apa – apa, guwe mau ke ruang OSIS dulu” ucap Aldo sambil meninggalkan Devina. Lalu Devina melihat – lihat pot bunga yang hampir mencelakainya tadi, dan ia menemukan sebuah gelang didalam pot itu dan ternyata gelang itu milik Angel. Devina langsung bergeges menemui Angel yang sedang berada didepan kelas. “Angel..” triak Devina. “kenapa loe triak – triak?” tanya Angel. “ini gelang loe kan?” tanya Devina. “iya ini gelang guwe, kok bisa ada di loe?” tanya Angel. “oh ternyata bener loe yang mau nyelakain guwe kan?” tanya Devina. “iya emang guwe yang sengaja jatuhin pot itu” jawab Angel. “loe jahat banget sih, guwe salah apa coba sama loe?” tnya Devina. “salah loe banyak” ucap Angel. “maksud loe?” tanya Devina bingung. “guwe benci sama loe Dev, loe selalu dapatin apa yang guwe mau, terus loe sudah ngerebut Aldo dari guwe” ucap Angel. “ya ampun guwe gak pernah ngerebut Aldo dari loe, guwe sama Aldo sama temenan” ucap Devina. “alah bohong” ucap Angel.

“beneran kok, kita ini sudah sahabatan dari dulu, masak kita berantem Cuma gara – gara hal sepele?” ucap Devina sambil memegang pundak Angel. Tiba – tiba Angel pura – pura jatuh dan dari kejauhan Aldo melihatnya dan menghampiri mereka. “loh Angel loe kenapa?” tanya Aldo. “ini tadi dorong aku sampek jatuh katanya aku mau nyelakain dia” ucap Angel. “loe kok gitu sih” saut Devina. “loe kok tega sih Dev sama temen sendiri” ucap Aldo.” Aku nggak dorong dia kok” ucap Devina. “alah bohong saut Angel”. “Munafik loe Angel“ ucap Devina sambil pergi meninggalkan Angel dan Aldo. Aldo ingin mengejar Devina tapi Angel menahannya lalu Angel mengajak Angel ke kantin.

Angel memesankan minuman untuk Aldo, dan Aldo tidak sengaja membanca buku harian Angel yang ada dikursi dan didalam buka harian itu menceritakan semua tenatang kemunafikan Angel. “loe kok jahat banget sih Angel, tega sama sahabat sendiri” ucap Aldo. “maksut kak Aldo?” tanya Angel. “loe yang nyelakain Devina ucap Aldo”. “Kak aku mintak maaf” ucap Angel. “guwe kira loe itu anak baik – baik tapi ternyata hati loe busuk” ucap Aldo. “Kak aku nyesel maafin aku” ucap Angel. “loe gak perlu minta maaf ke guwe loe harus mintak maaf ke Devina!” ucap Aldo sambil menarik Angel untuk mintak maaf ke Devina. Lalu mereka menghampiri Devina yang ada didalam kelas. “Dev, guwe mintak maaf, guwe sudah jahat sama loe” ucap Angel. “loe gak lagi akting kan?” tanya Devina. “gak kok Dev, Angel tulus kok mintak maaf sama loe” saut Aldo. Iya Dev, guwe nyesel sudah jahat sama loe” ucap Angel. “oke guwe mau maafin loe, tapi...” ucap Devina. “tapi apa Dev?” tanya Angel. “loe harus peluk guwe dulu” ucap Devina. Angel langsung memeluk Devina. “sahabat guwe Devina The Devil guwe sayang sama loe” triak Angel. “hahaha guwe juga” ucap Devina sambil terus berpelukan. “guwe gak diajak nih?” tanya Aldo.” Gak weekkkkk” ucap Devina sambil tertawa.” Nah gitu dong baikan kan enak kalau dilihat akur kayak gini” ucap Aldo sambil tersenyum.





CERPEN
Karya : Yeni Saputri

Tanggal lahir : 26 Mei 1997
SMK N 01 Kademangan-Blitar